Senin, 21 Maret 2011

PRINSIP PEMBERANTASAN PENYAKIT - FOOD AND WATER BORNE DISEASE


“PENYAKIT DEMAM TIFOID”

1.      Pendahuluan
Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Berbagai macam manifestasi demam tifoid membuat penyakit ini membutuhkan kebenaran diagnostik. Tanpa pengobatan, demam tifoid adalah penyakit yang dapat berkembang menjadi delirium, obtundation, perdarahan usus, perforasi usus, dan kematian dalam waktu satu bulan onset. 

2. Epidemiologi Penyakit
Faktor determinan :
a.       Agent
·         Mekanisme transmisi
Penyakit ini menular melalui makanan dan air tercemar oleh kotoran manusia yang mengandung kuman tifoid. Lalat merupakan pembawa kuman dari kotoran manusia ke makanan yang dihinggapinya.
Penularan hanya melalui manusia. Berikut ini adalah cara penularan:
-          Penularan Oral melalui makanan atau minuman ditangani oleh seorang individu yang mengandung banyak  bakteri melalui tinja atau urin.
-          Dari tangan ke mulut  setelah menggunakan toilet terkontaminasi dan mengabaikan kebersihan tangan.
-          Penularan Oral melalui air limbah atau kerang yang terkontaminasi (terutama di negara berkembang)
·         Jenis sumber penularan
Sumber penularan hanya melalui manusia, melalui :
a. Jalur feko-oral
b. Jalur terkontaminasi dari manusia “aktif”
c. Pengidap / carrier kronis.
(Baksil “tersembunyni” di empedu)
·         Jenis agen
Bakteri-bakteri Salmonella (gram negatif bacillus dari famili Enterobacteriaceae)  Golongan primer adalah Salmonella typhi.
·         Patogenecity dan virulency
Kuman S. typhi masuk ketubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S. typhi kemudian menembus ke lamina propina, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe messenterial yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini S. typhi masuk kealiran darah melalui duktus thoracicus. Kuman-kuman S. typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S. typhi bersarang di plaque Peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotial.
Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian-eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin S. typhi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan setempat S. typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S. typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
·         Jumlah agen
Suatu inokulum kecil sebanyak 100.000 organisme menyebabkan infeksi di lebih dari 50% dari orang sehat.
b.      Host
·         Kepadatan populasi
Demam tifoid lebih banyak terjadi di Lingkungan yang padat penduduk. Jarak antar satu rumah dengan rumah yang lain sangat dekat.
·         Perilaku
Demam tifoid terjadi karena perilaku yang kurang menjaga kebersihan diri dan kebersihan lingkungan sekitar.
·         Pekerjaan
Demam Tifoid tidak terjadi pada jenis pekerjaan tertentu.
·         Umur
Anak yang berumur < 5 tahun
Dewasa > 70 tahun
Puncak insidens: < 1 tahun
·         Imunitas
Demam tifoid dapat terjadi pada setiap orang yang memiliki imunitas rendah, terlebih bayi yang masih memiliki imunitas yang sangat rendah.
Mortalitas (infeksi invasif) tinggi pada yang lemah imun: Bayi, Lanjut usia, HIV, Hemoglobinopati, Kanker. 10% balita tanpa Rx mati
Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.
·         Inkubasi
Demam Enterik (Tifoid): 3 – 60 hari (biasanya 7 – 14 hari
·         Pendidikan
Demam Tifoid tidak membedakan tingkat pendidikan, namun kemungkinan terjadi Demam Tifoid pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah yang tidak memperhatikan / tidak mengetahui tentang kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan.
·         Sosial-ekonomi
Demam Tifoid banyak terjadi pada masyarakat dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah, karena masyarakat tersebut tidak memperhatikan kebersihan pribadi, makanan maupun lingkungan. Missal : masyarakt dengan sosial-ekonomi rendah lebih mementingkan makan kenyang tanpa memperhatikan kebersihan makanan tersebut.
c.       Lingkungan
Demam Tifoid terjadi pada daerah yang tidak memperhatikan sanitasi makanan maupun lingkungan. Didaerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah nonendemik.
Insiden penyakit demam tifoid tidak dipengaruhi oleh musim, tetapi di daerah diman demam tifoid menjadi endemic insiden akan meningkat pada bulan- bulan tertentu,biasanya akan meningkat pada musim panas.
Di Indonesia sendiri akan meningkat kasusnya pada musim kemarau panjang atau dapat juga pada musim hujan hal ini sering dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat pada musim tersebut dan penyediaan air bersih yang kuarng bagi masyarakat.

3.      Tanda dan Gejala Penyakit Demam Tifoid
Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian mengikuti peredaran darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba.
Secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan antara lain ;
a.       Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi.
  1. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.
  2. Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.
  3. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
  4. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
  5. Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran.
4.      Diagnosa Penyakit Demam Tifoid
Untuk ke akuratan dalam penegakan diagnosa penyakit, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium diantaranya pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Widal dan biakan empedu,
a.       Pemeriksaan darah tepi merupakan pemeriksaan sederhana yang mudah dilakukan di laboratorium sederhana untuk membuat diagnosa cepat. Akan ada gambaran jumlah darah putih yang berkurang (lekopenia), jumlah limfosis yang meningkat dan eosinofilia.
  1. Pemeriksaan Widal adalah pemeriksaan darah untuk menemukan zat anti terhadap kuman tifus. Widal positif kalau titer O 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan progresif.
  2. Diagnosa demam Tifoid pasti positif bila dilakukan biakan empedu dengan ditemukannya kuman Salmonella typhosa dalam darah waktu minggu pertama dan kemudian sering ditemukan dalam urine dan faeces.
Sampel darah yang positif dibuat untuk menegakkan diagnosa pasti. Sample urine dan faeces dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan bukan pembawa kuman (carrier).

5. Cara-cara pemberantasan
a.   Penderita
      Bagi penderita Deman Tifoid  segera dilakukan upaya :
1.      Minum antibiotic sesuai petunjuk dokter. Perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit demam Tifoid atau types bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali. Pengobatan penyakit tifus dilakukan dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine untuk mencegah penularan. Pasien harus berbaring di tempat tidur selama tiga hari hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan.
2.      Istirahat, yaitu harus istirahat baring total selama 2-7 hari bebas demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan.
3.      Diet, yaitu pemberian makanan lunak, awalnya diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi biasa sesuai tingkat kesembuhan. Pemberian vitamin dan mineral untuk menjaga daya tahan tubuh.
Perawatan yang tepat dimulai dalam beberapa hari pertama sakit, penyakit ini mulai turun setelah sekitar 2 hari, dan kondisi pasien nyata meningkatkan dalam 4-5 hari. Setiap keterlambatan dalam pengobatan meningkatkan kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan.
b.   Orang yang pernah kontak
      Bagi orang yang pernah mengalami kontak dengan penderita, untuk upaya pencegahan agar tidak terjadi penularan penyakit dapat diberikan vaksin atau segera melakukan pemeriksaan labolatorium untuk memastikan jika ada penularan.
Vaksin-Vaksin Tifoid
·         Oral Typhoid Vaccine (Ty21A) : vaksin hidup
·         Parenteral Inactivated Typhoid Vaccine: mati, subkutan
·         Typhoid Vi Capsular Polysaccharide Vaccine: IM
Imunisasi dengan menggunakan vaksin oral dan vaksin suntikan (antigen Vi Polysaccharida capular) telah banyak digunakan. Saat ini pencegahan terhadap kuman Salmonella sudah bisa dilakukan dengan vaksinasi bernama chotipa (cholera-tifoid-paratifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak usia 2 tahun yang masih rentan, bisa juga divaksinasi.
c.   Lingkungan
Pemberantasan penyakit demam Tifoid bisa dilakukan dengan cara perbaikan higiene dan sanitasi lingkungan serta penyuluhan kesehatan. Tindakan-tindakan higiene dalam proses-proses persiapan makanan, pembuangan sampah dll.
Di negara-negara endemik, strategi paling efektif untuk mengurangi insiden demam tifoid merupakan institusi tindakan kesehatan masyarakat untuk memastikan air minum yang aman dan sanitasi pembuangan kotoran. Dampak dari tindakan ini adalah jangka panjang dan mengurangi kejadian infeksi usus yang lain, yang merupakan penyebab utama morbiditas dan kematian di daerah tersebut.
6. Hambatan dan Kesulitan
a.       Kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang masih rendah.
b.      Kurangnya peran serta masyarakat dalam pemberantasan penyakit.

Sumber :
Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, 2002. Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI :367-75.
Soemarsono, Widodo D. 1980. Patogenesis, Patofisiologi dan Gambaran Klinik Demam Tifoid. Simposium demam tifoid FK UI. Jakarta ; 11-24.

PRINSIP PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR - AIR BORNE DISEASE

"TUBERCULOSIS"
1.      PENDAHULUAN
Tuberculosis atau penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang bisa bersifat akut maupun kronis dengan ditandai pembentukan turbekel dan cenderung meluas secara lokal. Selain itu, juga bersifat pulmoner maupun ekstrapulmoner dan dapat mempengaruhi organ tubuh lainnya. Jaringan pang paling sering diserang adalah paru-paru (95,9 %). Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis. Miko bakteria adalah bakteri aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan terhadap peluntur warna (dekolarisasi) asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan bakteri tahan asam atau basil tahan asam.
Apabila seseorang sudah terpapar dengan bakteri penyebab tuberkulosis akan berakibat buruk seperti menurunkan daya kerja atau produktivitas kerja, menularkan kepada orang lain
terutama pada keluarga yang bertempat tinggal serumah, dan dapat menyebabkan kematian.

2.      EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
Indonesia adalah negeri pravelensi TB ke-3 tertinggi di duniasetelah China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia adalah 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Bedasarkan survey kesehatan rumah tangga 1985 dan survey kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking 3 sebagai penyebab tertinggi kematian di Indonesia. Pravelensi nasional terakhir TB  diperkirakan 0,24%. Sampai sekarang angka kejadian TB di Indonesia relative terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena masih relative rendahnya infeksi HIV, tetapi hal ini mungkin berubah dimasa mendatang melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun.
a.       Agent
-          Mekanisme Penularan
Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam paru-paru penderita, pesebaran kuman tersebut diudara melalui dahak berupa droplet. Penderita TB-Paru yang mengandung banyak sekali kuman dapat terlihat lansung dengan mikroskop pada pemeriksaan dahaknya (penderita bta positif) adalah sangat menular. Penderita TB Paru BTA positif mengeluarkan kuman-kuman keudara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini mongering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman tuberkulosis. Dan dapat bertahan diudara selama beberapa jam.
Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhirup oleh orang lain. Jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, maka kuman mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi dari satu orang keorang lain.
-          Macam Sumber Penularan
Sumber penularan adalah dahak penderita TB. TB menular melalui udara bila penderita batuk, bersin dan berbicara dan percikan dahaknya yang mengandung kuman TBC melayang-layang di udara dan terhirup oleh orang lain.
Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi kongenital yang jarang terjadi.
Penderita TBC Paru dengan BTA Positif, dapat menularkan kepada 10 orang di sekitarnya. (BTA Positif artinya dalam parunya terdapat bakteri TB)
-          Spesies Agent
Penyakit TB disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacteria, pada manusia terutama oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri Tuberculosis biasanya menyerang paru-paru (sebagai TB paru) tetapi TB bisa juga menyerang system syaraf pusat. System limfatik, system sirkulasi, system genitourinary, tulang, persendian, dan bahkan kulit.
-          Patogenecity dan virulency
Daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium tuberculosis pada tubuh Host sangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi moderen, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru.
-          Jumlah agent
Tidak semua orang menjadi sakit walaupun mendapat infeksi. Status infeksi suatu masyarakat dapat diketahui dengan tes tuberkulin pada kulit32. Kalau tes tuberkulin positif dianggap seseorang telah terinfeksi oleh basil tuberkulosis.
b.      Host
-          Kepadatan populasi
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan,
lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC.
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
-          Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
-          Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru
-          Umur
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TB. Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian :
(1) paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita,
(2) paling luas pada masa remaja dan dewasa muda (pada usia muda atau usia produktif (15 – 50) tahun)sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita.
 (3) puncak sedang pada usia lanjut.
Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-Paru.
-          Jenis Kelamin
Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-Paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-Paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB-Paru.
-          Imunitas
Status gizi seseorang, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku juga berperan penting dalam mekanisme pertahanan umum atau imunitas seseorang terhadap penyakit.
Masalah gizi menjadi penting karena perbaikan gizi merupakan salah satu upaya untuk memutus lingkaran setan penularan dan pemberantasan TBC di Indonesia.
Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi.
-          Pendidikan
Orang dengan tingkat pengetahuan rendah, terutama tingkat pengetahuan tentang penyakit yang rendah dan tidak ada pengalaman sebelumnya tentang TB akan bersifat tidak peduli dan lalai akan penyakit yang sedang dialami orang tersebut.
-          Sosial-ekonomi
Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TB. Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TB dengan kelas sosial yang mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan.  Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, penggangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini.
c.       Lingkungan
-          Sanitasi ruangan
Sanitasi ruangan yang baik dapat meminimalisir terjadinya TB, karena atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.
Sanitasi ruangan untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.
-          Sanitasi Udara
Pengaturan sanitasi udara dengan mengupayakan ventilasi yang baik (cross ventilation), agar partikel dari orang batuk atau bersin dapat cepat terdilusi di udara sehingga kandungan bakteri lebih kecil.
-          Aerasi ruangan
Untuk meningkatkan kadar oksigen di dalam ruangan maka dibuat ventilasi agar aliran udara lancar. Ventilasi untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
-          Iklim / musim
Distribusi geografis TB mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar  dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis.
-          Sinar matahari
Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
-          Pencahayaan ruangan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup.
3.      CARA-CARA PEMBERANTASAN
a.       Penderita :
    Pengobatan
      Pengobatan dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap awal (intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan.
      Selama proses pengobatan, untuk mengetahui perkembangannya yang lebih baik maka disarankan pada penderita untuk menjalani pemeriksaan baik darah, sputum, urine dan X-ray atau rontgen setiap 3 bulannya. Adapun obat-obtan yang umumnya diberikan adalah Isoniazid dan rifampin sebagai pengobatan dasar bagi penderita TBC, namun karena adanya kemungkinan resistensi dengan kedua obat tersebut maka dokter akan memutuskan memberikan tambahan obat seperti pyrazinamide dan streptomycin sulfate atau ethambutol HCL sebagai satu kesatuan yang dikenal ‘Triple Drug’.
    Isolasi
      Melakukan isolasi dengan opname di rumah sakit bagi penderita yang kategori beratyang memerlukan pengembangab program pengobatan.
    Edukasi 
Meningkatkan pengetahuan penderita yang kurang mengenai penyakit TB, cara pengobatan dan bahaya akibat berobat yang tidak adequate.
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan sapu tangan atau tissue.
-          Pengawasan
DOTS (Direcctly Observed Treatment Shortcourse) adalah pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat. Tujuannya mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus obat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi.
b.      Contact person :
    Imunisasi
      Vaksinasi BCG terhadap anak umur 0-14 tahun.
    Profilaksis
      Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.
     Proteksi
      Penggunaan masker pada saat melakukan kontak langsung dengan penderita TB karena penularan TB dapat melalui udara.
    Peningkatan Imunitas 
      Menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makan makanan bergizi, cukup istirahat, hidup teratur dan tidak minum alcohol atau merokok dapat meningkatkan imunitas tubuh tehadap penyakit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.
    Edukasi
      Petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
      Adanya upaya untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan sapu tangan atau tissue.
c.       Lingkungan :
     Desinfeksi
      Melakukan desinfeksi alat-alat yang digunakan (misal : alat makan), Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
    Ventilasi memadai
      Dengan ventilasi yang baik, partikel dari orang batuk atau bersin dapat cepat terdilusi di udara sehingga kandungan bakteri lebih kecil.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%. Fungsi dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan dalam rumah atau kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.
     Sinar matahari
      Membuat jendela rumah yang cukup besar atau menggunakan genting kaca agar ruangan di dalam rumah bisa mendapat lebih banyak sinar matahari karena bakteri dapat mati karena paparan sinar matahari.
4.      HAMBATAN DAN KESULITAN
a.       Sifat kronis dari penyakit / sukar disembuhkan
Penderita sebagai sumber disembuhkan namun masih tetap ada bakteri TB di dalam tubuh penderita, sehingga penyakit masih dapat ditularkan kepada orang lain, penderita sebagai sumber penular
b.      Resistensi kuman
Pengobatan yang tidak dilakukan secara kontinyu dan rutin akan berdampak pada resistensi kuman terhaadap obat yang diberikan.
c.       Peranserta masyarakat
Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan selalu mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang mendalam terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat.
Sumber :
Achmadi, Umar Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Gramedia Kompas : Jakarta.
DEPKES RI . 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, cetakan ke 8. Depkes RI : Jakarta.
DEPKES RI . 1999. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis , cetakan ke 4. Dirjen PPM-PLP : Jakarta.
Kandun, Nyoman. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi ke-17. Jakarta
The Indonesian Association of Pulmonologist: Hasil Konperensi Kerja VIII Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta 26-29 November 1998. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3448/1/paru-amira.pdf
World Health Organitation (WHO), 2004. Epidemiology of Tuberculosis. http://who.org/orgs/dissease/tuberculosis/epidemiology.htm.
W. Sudoyo aru, d.k.k. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

EMILIA DIASRI
E2A009078
Reguler-1 2009
Mahasiswi FKM UNDIP